
Brand apa yang pertama kali terlintas di benak Anda jika seseorang bertanya mengenai ‘makanan siap saji’ kepada Anda? Jika pertanyaan tersebut terlontar pada saya, maka brand yang pertama terlintas di benak saya adalah McDonald’s. Ya, McDonald’s adalah sebuah brand untuk restoran makanan siap saji yang sepertinya sudah sangat melekat di benak banyak orang di dunia. Bagaimana tidak? Selain karena rasa makanannya yang mampu menggoyang lidah, McDonald’s merupakan salah satu restoran makanan siap saji dengan wilayah operasional waralaba terluas di dunia, termasuk di Indonesia.
“Makanan siap saji adalah istilah untuk makanan yang dapat disiapkan dan dilayankan dengan cepat. Sementara makanan apapun yang dapat disiapkan dengan segera dapat disebut makanan siap saji, biasanya istilah ini merujuk kepada makanan yang dijual di sebuah restoran atau toko dengan persiapan yang berkualitas rendah dan dilayankan kepada pelanggan dalam sebuah bentuk paket untuk dibawa pergi.” [Sumber].
Layaknya image makanan cepat saji pada umumnya, yang juga menjadi persoalan bagi restoran makanan siap saji sekelas McDonald’s, yaitu makanan siap saji identik dengan makanan yang dipersiapkan dengan kualitas rendah. Image yang telah tertanam sejak munculnya istilah fast food, yang juga memunculkan istilah junk food, inilah yang membantuk ketidakpercayaan konsumen bahwa bahan-bahan yang digunakan oleh McDonald’s bukan bahan-bahan yang segar, tidak bersumber secara lokal dan bukan berasal dari bahan-bahan dengan kualitas yang layak untuk dikonsumsi.
Masalah yang berkaitan dengan ketidakpercayaan konsumen akan mutu dari bahan dasar produk McDonald’s ini dihadapi oleh semua waralaba McDonald’s yang tersebar hampir diseluruh dunia. Rasa ketidakpercayaan ini semakin menguat setelah dirilisnya sebuah film dokumenter berjudul ‘Super Size Me’ di tahun 2004 besutan Morgan Spurlock. Film independen tersebut mendokumentasikan periode 30 hari (Februari hingga Maret 2003) dimana sang sutradara hanya mengkonsumsi McDonald’s, yang berpengaruh drastis terhadap fisik dan psikologi Spurlock. Film ini juga mendedah industri makanan cepat saji, termasuk bagaimana mereka menggunakan nutrisi rendah untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya. Selama pembuatan film, Spurlock makan di restoran McDonald’s tiga kali sehari. Sebagai akibatnya, berat badan Spurlock bertambah sebanyak 11.1 kg, mengalami disfungsi seksual dan kerusakan hati yang menyebabkan Spurlock membutuhkan waktu empat belas bulan untuk pulih dari pengaruh tersebut. Sebuah fakta yang cukup mengerikan bukan?
Tentu saja hal ini menjadi sebuah pukulan telak bagi McDonald’s. Berbagai cara pun ditempuh oleh brand waralaba makanan siap saji ini untuk memulihkan rasa ketidakpercayaan konsumennya. Beberapa upaya yang cukup menarik perhatian adalah di sekitar bulan Desember 2011, McDonald’s US membuat sebuah video berjudul ‘McDonald’s Beef Supplier, Steve Foglesong: “Raising Cattle and a Family”’. Video yang dimuat di YouTube resmi McDonald’s ini menjelaskan mengenai sebuah peternakan sapi yang menjadi supplier daging sapi resmi dari McDonald’s yang pada prosesnya senantiasa menjunjung kualitas daging sapi yang mereka kembangbiakkan.
Pada bulan Juni 2012, McDonald’s Kanada, membuat sebuah video yang berjudul ‘What’s in the secret sauce of the Big Mac?’ sebagai sebuah usaha strategi transparansi untuk menjelaskan kepada para penonton video bahwa saus yang disajikan McDonald’s tidak jauh berbeda dengan saus yang kita buat sehari-hari di rumah. McDonald’s yang beroperasi di Australia pun turut andil dalam usaha ini dengan membuat sebuah film dokumenter bertajuk ‘McDonald’s Gets Grilled’ yang ditayangkan di sebuah channel tv lokal Australia. Film dokumenter ini bercerita tentang McDonald’s dan makanan yang disajikannya berdasarkan pengalaman dari enam orang warga Australia biasa yang secara khusus diundang untuk menyelidiki bagaimana bahan dasar makanan McDonald’s ditanam, diproses, sampai disajikan di toko dan sampai pada piring konsumen.
Beberapa upaya lain yang juga ditempuh oleh McDonald’s adalah dengan turut menginformasikan bahan dasar tiap produk dan kandungan nutrisi dari tiap menu yang diproduksi di web-nya. Untuk menggenapinya, McDonald’s juga menyusun strategi transparansi melalui sosial media, misalnya dengan membuat campaign #MeetTheFarmers dan #McDStoriesvia Twitter. Namun, unfortunately, berbagai upaya tersebut masih belum mampu menyurutkan berbagai persepsi negatif yang mewarnai brand makanan siap saji ini. Bahkan campaign #McDStories malah menjadi bumerang, diakibatkan banyaknya konsumen yang mengeluh dan menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap McDonald’s dengan menggunakan hashtag tersebut.
McDonald’s tak menyerah sampai disitu. Menyikapi berbagai rasa ketidakpercayaan dan ketidakpuasan dari konsumen tersebut, restoran waralaba McDonald’s yang beroperasi di Australia memutuskan untuk meluncurkan campaign terbaru mereka. Dengan menggunakan teknologi Augmented Reality, McDonald’s kembali melakukan usaha PR melalui sebuah aplikasi yang bernama ‘TrackMyMacca’s’, seperti yang dipaparkan dalam sebuah mini video berikut :
‘TrackMyMacca’s’ yang secara resmi diluncurkan pada tanggal 17 Januari 2013, adalah sebuah aplikasi gratis yang dapat diunduh di Apple App Store untuk kemudian digunakan di iPhone para penggunanya. Dengan aplikasi ini target audiencemereka akan disuguhkan sebuah perjalanan virtual ‘behind the scenes’ menu makanan yang biasa McDonald’s sajikan, mulai dari penjelasan mengenai darimana sumber makanan berasal, hingga penjelasan mengenai rantai pasokan untuk bahan dasar dari menu-menu yang disajikan di McDonald’s.
Semua informasi tersebut bisa Anda saksikan langsung di meja makan melalui iPhone sebagai medianya. Aplikasi ini menggabungan teknologi ‘image recognition’, GPS, ‘real date/time’ dan Augmented Reality, yang secara keseluruhan tentunya memberikan informasi yang menarik dan interaktif untuk disaksikan oleh konsumen selagi menikmati makanan mereka di gerai McDonald’s.

Aplikasi ‘TracMyMacca’s’ menjadi bagian dari campaign McDonald’s Australia yang sosialisasinya juga tentu tak lepas dari jejaring sosial terbesar saat ini yaitu Facebook. Berdasarkan keterangan dari laman Facebook McDonald’s Australia, aplikasi ‘TrackMyMacca’s’ ini hanya bisa digunakan selama kurang lebih 5 bulan, yaitu semenjak 16 Januari sampai dengan 30 Juni 2013. Selain dapat digunakan di iPhone (3GS, 4, 4S dan 5), aplikasi ini dapat pula digunakan pada iPod touch (4th Generation), iPad (2, 3rd and 4th generation) dan new iPad Mini, dengan sistem operasi iOS 4, iOS 5 atau iOS 6 yang terinstall pada device tersebut.

Aplikasi ‘TrackMyMacca’s’ juga terhubung dengan Facebook pribadi para penggunanya, sehingga pengguna aplikasi ini dapat berbagi mengenai pengalaman mereka di Facebook wall dan dapat mengajak teman-teman Facebooknya untuk melakukantracking menu McDonald’s favoritnya dengan menggunakan aplikasi yang sama. Menghubungkan antara aplikasi dengan Facebook share adalah salah satu upaya untuk meningkatkan keberhasilan dari suatu campaign. Dengan Facebookshare, misi McDonald’s untuk menyampaikan pesan bisa lebih tersebar luas secara viral.

Dengan pendekatan seperti ini akankah McDonald’s mampu mengembalikan kepercayaan dari konsumennya? Terdapat beberapa key component yang membuat campaign ini memiliki kemungkinan berhasil yang besar, salah satunya adalah dengan penyebaran aplikasi iPhone secara gratis yang dapat dengan mudah diunduh langsung dari devicepenggunanya.
Juga turut memberikan andil, tampilan virtual yang interaktif dan realtime sehingga memungkinkan konsumen untuk mengetahui sumber bahan dasar dari menu McDonald’s yang mereka konsumsi kapanpun mereka inginkan. Selain itu, penggunaan aplikasi mobile yang terintegrasi dengan jejaring sosial adalah sebuah upaya pendekatan personal yang tentunya dapat meningkatkan arus informasi secara transparan dan tersampaikan secara viral di sosial media.
Secara keseluruhan, ide pengembangan aplikasi ‘TrackMyMacca’s’ ini merupakan usaha pendekatan yang baik dari sebuahbrand yang ingin memberikan penjelasan mengenai suatu produk kepada konsumennya. Melalui aplikasi interaktif ini McDonalds’s membuat konsumen mencari jawaban atas rasa penasaran mereka mengenai proses produksi dari menu-menu yang disajikan di McDonald’s dengan cara yang menyenangkan dan lebih personal.
Gabungan antara teknologi, informasi, dan tidak melupakan integrasi antara aplikasi dan jejaring sosial seperti Facebook, tentu saja ini adalah sebuah cara yang brilian bagi brand untuk memadukan antara produk-produk yang dihasilkan dan pegalaman konsumen di dunia offline dengan menggunakan teknologi online. Yang menjadi pertanyaan tinggal bagaimana eksekusi campaign ini akan dijalankan, karena jujur saja: idea is cheap! Selama teknis eksekusi belum mampu mengimbangi dahsyatnya sebuah ide, maka usaha digital PR ini dapat gagal kapan saja.
Bagaimana menurut Anda?
note: tulisan ini telah dimuat di Trenologi dalam 2 bagian (bagian 1 dan bagian 2).