
Thomas Friedman dalam bukunya yang berjudul “The World is Flat” menumpahkan sebuah pemikiran bahwa dunia telah menjadi ‘datar’ berkat kehadiran internet. Semua orang bisa saling terhubung, berinteraksi, berbicara, dan berteman tanpa pandang arah dan jarak.
Berkat internet, cara kita berinteraksi dengan sesama umat manusia pun cenderung berubah. Media sosial menjadi salah satu ‘alat’ atau perantara bagi kita untuk saling berinteraksi. Berkat media sosial, kita tidak perlu hadir di dalam dunia nyata untuk berhubungan dengan orang lain. Hanya dengan mengunggah sebuah gambar ke jagad maya, semua orang bisa tahu sedang apa dan dimana kita berada.
Kehadiran media sosial bisa memajukan bangsa, memperkaya individu, dan mempertemukan keluarga. Namun ada sisi gelap dari media sosial yang mungkin sudah pernah kita rasakan namun jarang kita sadari.
Di tahun 2013 istilah‘FOMO’ telah resmi menjadi kata di kamus bahasa Inggris Oxford. FOMO atau Fear of Missing Out bisa berarti sebuah kekhawatiran bahwa orang lain sedang melakukan sesuatu hal yang lebih menyenangkan dan menarik daripada kita. Istilah FOMO mungkin cukup baru di dengar oleh telinga. Namun ‘perasaan’ FOMO sendiri sudah pasti sering kita rasakan.
Kita pasti pernah merasa bahwa ada orang di luar sana (teman, keluarga, kerabat) yang tampaknya sedang melakukan sesuatu hal yang hebat dan menyenangkan tanpa kita. Kita merasa bahwa orang-orang lebih sukses, lebih kaya, dan memiliki kehidupan yang lebih menarik dari kita. Perasaan seperti inilah yang disebut dengan FOMO. Berkat kehadiran media sosial, perasaan ini dilipatgandakan menjadi berkali-kali lipat.
Menurut sebuah studi dari University of Essex yang dipublikasikan melalui jurnal Computers in Human Behavior, orang-orang yang merasakan FOMO adalah orang yang aktif menggunakan media sosial sebagai alat untuk bersosialisasi. Seseorang dengan perasaan FOMO yang kuat cenderung terlalu terlibat dengan gambaran kehidupan orang lain, sehingga mereka akan merasa ‘tertinggal’ dan tidak bisa menikmati kehidupan mereka sendiri. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki perasaan FOMO yang kuat, mengaku tidak puas dengan kehidupan yang mereka miliki.

Kehadiran FOMO akhirnya mendorong orang untuk menciptakan kehidupan virtual yang tidak kalah menarik. Karena tidak ingin merasa tertinggal, seseorang ‘tertuntut’ untuk mengunggah kehidupan mereka di media sosial. Liburan, konser, tempat makan, pernikahan, anak, bahkan kehidupan pribadi tidak luput dieksploitasi untuk menjadi bahan media sosial. Ketika kita tidak memiliki sesuatu hal yang menarik untuk diunggah, kita cenderung merasa bahwa ada sesuatu hal yang salah dalam kehidupan kita.
Apakah saya salah memilih pekerjaan? Apakah saya kurang sukses? Apakah saya tidak memiliki cukup uang?
Sedikit kita sadari bahwa citra seseorang di media sosial tidak mewakili seluruh kehidupan mereka. Apa yang ditampilkan orang-orang di media sosial adalah versi ‘ideal’ dari kehidupan. Media sosial cenderung hanya menampilkan hal-hal yang menyenangkan dan baik dari kehidupan seseorang. Sedangkan hal-hal yang buruk jarang ditampilkan di layar monitor. Kehidupan memang panggung sandiwara dan popularitas, namun media sosial membuatnya menjadi lebih besar dan mengerikan.
Namun tidak semua penelitian dan studi mengungkapkan hal-hal yang negatif. Sebuah studi yang diambil dari jurnal Computers in Human Behavior menyatakan bahwa media sosial bisa bermanfaat untuk orang yang terkena depresi. Tidak hanya itu, sebuah penelitian juga menyatakan bahwa media sosial bisa meningkatkan kepuasaan hidup, kepedulian sosial, dan partisipasi politik. Fakta ini cukup melegakan karena harus disadari bahwa manfaat media sosial juga cukup banyak bagi umat manusia.
Dan Herman, Ph.D., seorang ahli marketing yang mencetuskan istilah FOMO, mengungkapkan bahwa FOMO bisa mendorong seseorang untuk mencapai kesuksesan, memotivasi kita untuk menjadi lebih baik, meningkatkan kepercayaan diri, dan membuat diri kita menjadi lebih menarik. Pada akhirnya semua tergantung pada kita. Bagaimana kita melihat FOMO dari sudut pandang positif atau negatif.
Haruskah kita membiarkan kehidupan orang lain mendiktekan kebahagiaan diri kita?
Haruskah kita diam dan merasa terasing diantara bombardir kemajuan teknologi?
Kita bisa memilih untuk mematikan dunia maya dan fokus ke dunia nyata. Kita juga bisa memilih untuk mengambil sisi positif dari fenomena global ini.
Referensi:
- http://psychcentral.com/blog/archives/2011/04/14/fomo-addiction-the-fear-of-missing-out/
- https://medium.com/@nireyal/getting-over-your-fear-of-missing-out-6674a257df6b
- http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563213000800
- http://elitedaily.com/life/social-media-made-us-obsessed-making-life-look-perfect/911522/