Fenomena Periscope Ketika Momentum Terbentur Hak Cipta

idea@work - Fenomena Periscope Ketika Momentum Terbentur Hak Cipta #blogpost
Fenomena Periscope Ketika Momentum Terbentur Hak Cipta

It’s Periscope, it’s now or never. Sedikit menggubah penggalan reff lagu It’s My Life dari Bon Jovi, kalimat tadi rasanya cukup mewakili konsep dasar sebuah aplikasi startup yang meledak beberapa bulan belakangan ini bernama Periscope.

Sekarang atau tidak sama sekali. Sebagai media sosial berbasis live streaming video, Periscope jelas menitikberatkan pada keapikan penggunanya menangkap momen melalui video, agar para followers mereka dapat menyimak dan menikmati tayangannya secara real­-time. Jika terlambat menonton video-nya? Tenang, Periscope memberikan hak istimewa kepada para pengguna mereka agar video dapat di-replay dalam kurun waktu 24 jam saja.

Ya, 24 jam! Jatah waktu yang cukup singkat bukan untuk menyaksikan ulang hasil live streaming, misalnya, sebuah konser musik? Tapi, bukan itu permasalahan utamanya. Lebih besar dari soal momentum, perlu digarisbawahi: apakah merekam sebuah pertunjukan komersial—seperti konser—adalah tindakan legal?

Persoalan seperti ini sempat beberapa kali terjadi dan telah menjadi pelajaran besar bagi seorang Ario Pratomo alias @shegarrio, Co-founder Comma Indonesia. Ada sebuah cerita di mana, dalam sebuah kesempatan, Ario tengah melancong ke Negeri Paman Sam. Di sana, ia dan teman-temannya beruntung dapat menonton secara langsung konser Taylor Swift di Staples Center.

Singkat cerita, ia mengaku sangat excited kala konser berlangsung hingga ia nekat merekam penampilan Taylor Swift dan membuat live streaming via Periscope. Hasilnya? Ario mendapatkan 7000 likes dari para followers-nya. Itu saja? Oh, tidak juga. Sebagai kompensasinya, ia juga menerima teguran melalui surel dari pihak Twitter karena dinilai telah melanggar copyright atau hak cipta pertunjukan, hingga akun Periscope-nya pun di-suspend.

Nah, urusan hak cipta ini ternyata tidak hanya terbatas di lingkup pertunjukan seni saja. Permasalahan serupa juga sempat mendapat sorotan lampu dalam dunia olahraga. Masih ingat ‘kan dengan gelar tinju tersohor tahun ini, Mayweather vs. Pacquiao? Secara resmi, pertandingan May-Pac disiarkan dengan pay-per-view (PPV) oleh HBO dan Showtime. Dan, lagi-lagi, kemudahan pemanfaatan media sosial Periscope ternyata dapat menjaring jutaan orang menikmati May-Pac beraksi di atas ring tinju, dengan tayangan PPV resminya berharga $90-$100.

Pertanyaan selanjutnya, apakah kedua kasus tersebut masuk ke dalam kategori pembajakan?

Merunut pada makna mendasar dari pembajakan hak cipta, maka jawabannya adalah IYA, itu adalah bentuk pembajakan.

Pembajakan melalui proses live streaming sudah menjadi perhatian sendiri di Amerika Serikat. Maria Pallete, Kepala Departemen Hak Cipta AS, menyatakan bahwa illegal streaming adalah kejahatan besar. “Streaming menjadi metode paling kuat pengaruhnya dalam mendapatkan konten di dunia maya. Namun di sisi lain, unlawful streaming justru lebih buruk imbasnya bagi pemilik hak cipta dibanding distribusi barang KW,” ujar Pallete.

Bisa jadi, ada banyak alasan yang dilakukan orang saat periscoping. Ya, seperti yang terjadi di media sosial pada umumnya, mereka ingin berbagi hal seru dan menarik kepada para followers-nya—terlepas dari berharap dapat banyak like atau tidaknya. Yes, you wanna live and carry on the moment simultaneously. It’s a juggling act. It’s now or never. Yet, let’s bring your followers to your sight wisely. Legally.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Let us help you with your projects