Ketika seorang wartawan asal Jepang bernama Kenji Goto dipenggal oleh militan ISIS, dunia kembali menjadi saksi dari kekejaman sebuah organisasi teroris. Isu agama dan teror kembali muncul ke permukaan, dibawa oleh kemarahan masyarakat di seluruh dunia.
Berita mengenai kepergiaan Goto di tangan teroris tentu saja menuai banyak kecaman dari berbagai pihak. Para netizen tidak luput untuk mengecam perbuatan biadab ini melalui media sosial. Namun tampaknya ada pemandangan menarik dari ribuan kicauan yang berseliweran di internet;
Pada 7 September 2010 Goto berkicau di Twitter:
目を閉じて、じっと我慢。怒ったら、怒鳴ったら、終わり。それは祈りに近い。憎むは人の業にあらず、裁きは神の領域。-そう教えてくれたのはアラブの兄弟たちだった。
— 後藤健二 (@kenjigotoip) September 7, 2010
“Aku menutup mata dan berdiam diri. Ini akan berakhir jika aku marah atau berteriak. Ini lebih mirip sebuah doa. Kebencian bukan milik manusia. Keadilan hanya milik Tuhan. Itu lah yang aku pelajari dari saudara dan saudariku dari Arab. “
Saat artikel ini ditulis, kicauan Goto telah di retweet oleh puluhan ribu netizen di Twitter. Kicauan singkat ini membawa pesan tentang toleransi ke seluruh dunia. Pujian pun dilontarkan oleh para Netizen mengenai keberanian Goto sebagai seorang wartawan yang meliput penderitaan anak-anak korban perang di Afghanistan dan Iraq.
Kisah Goto tampaknya membawa perubahan pada sikap Jepang yang cenderung ‘apatis’ tentang isu-isu dunia. Jauh sebelum Goto dieksekusi, seorang sutradara asal Jepang bernama Taku Nishimae membuat sebuah facebook fan page berjudul “Aku adalah Kenji Goto” untuk memberikan solidaritasnya terhadap wartawan pemberani tersebut. Kampanye media sosial ini mirip dengan “Je Suis Charlie” yang sempat ramai beberapa pekan lalu. Sejak fan page tersebut dibuat, sudah ada 25,000 orang yang memberikan jempolnya untuk fan page Kenji Goto.
Dukungan yang luar biasa ini tentu saja tidak biasa bagi sebuah negeri yang cenderung mengkritik rakyatnya karena terlibat dalam konflik berbahaya di luar negeri. Saat Goto ditangkap oleh ISIS, banyak orang-orang yang melabeli Goto sebagai orang bodoh karena turut campur masalah negara orang lain. Pada tahun 2004, tiga orang wartawan dari Jepang sempat ditangkap oleh organisasi militan yang memprotes keterlibatan Jepang dalam perang di Irak, ketika mereka dilepaskan, media dan orang-orang mengkritik tiga orang wartawan tersebut karena dianggap memalukan Jepang.
Namun ketika kampanye “Aku adalah Kenji Goto” muncul di internet, respon orang-orang Jepang nyaris berubah tiga ratus enam puluh derajat. Para netizen dan media yang mengkritik Goto mulai melembut dan turut memberikan dukungannya. Hal ini tentu saja tidak lepas dari kisah heroik Goto yang menginsprasi banyak orang. Goto membiayai perjalanannya sendiri ke berbagai negeri untuk membuat film dokumenter tentang orang-orang yang berada di negeri yang dilanda perang. Kematian Goto tidak akan sia-sia begitu saja. Goto mengajarkan pada orang-orang di Jepang untuk peduli pada penderitaan orang lain di luar negerinya. Kematian Goto juga akan memicu pemerintahan Jepang untuk berpikir ulang tentang kebijakan asing Jepang.
Kisah Kenji Goto hampir sama dengan apa yang terjadi di Prancis beberapa pekan yang lalu. Penembakan wartawan Charlie Hebdo membawa media sosial ke tingkat yang lebih tinggi. Sentimen di media sosial tentang penembakan Charlie Hebdo berhasil “mengundang” jutaan orang untuk memprotes serangan teror tersebut. Kurang dari 24 jam setelah penembakan Charlie Hebdo, hashtag #JesuisCharlie sudah di mention oleh lebih dari 3.4 juta akun!
Untuk pertama kalinya sejak revolusi Prancis, lebih dari 3 juta orang memenuhi jalanan Paris untuk memprotes perbuatan biadab tersebut. Cerita tentang Lassana Bathily, seorang muslim yang melindungi pelanggan sebuah super market dari serangan teroris, langsung mendapatkan perhatian internasional ketika para netizen berbagi berita cerita tentang kisah heroiknya. Berkat keberaniannya, netizen prancis menandatangani 300,000 petisi untuk memberikan kewarganegaraan Prancis bagi Lassana. Gerakan protes Charlie Hebdo melahirkan berbagai gerakan dan perhatian pada toleransi keberagamaan di seluruh dunia.
Cerita tentang kekuatan media sosial tidak berakhir pada Kenji Goto dan Charlie Hebdo saja. Beberapa kejadian dalam beberapa tahun terakhir telah melahirkan kekuatan baru bagi media sosial, lihat saja contoh berikut ini:
- #Ferguson ketika seorang pemuda kulit hitam ditembak oleh seorang polisi, kampanye ini membentuk kesadaran akan kebrutalan polisi dan isu ras yang terjadi di Missouri.
- #NetNeutrality kampanye ini ingin membuat internet tetap terbuka dan gratis agar tidak menjadi media yang hanya ditujukkan bagi kaum elit dan borjuis.
- #IceBucketChallenge hashtag ini berhasil memecahkan rekor untuk pendanaan penyakit ALS. Berkat kampanye ini, 115 juta dolar berhasil diraup untuk penelitian pengobatan ALS.
- #ArabSpring 2 kata di twitter ini berhasil membawa Mesir menuju pemerintahan yang baru dan lebih demokratis.
Kekuatan media sosial tidak bisa diremehkan. Media dan internet tidak lagi dimiliki oleh para elit. Kekuatan jurnalisme masyarakat akan membayangi media yang dibayar oleh perusahaan dan kepentingan politik yang picik. Kali ini, kebenaran akan dimiliki oleh maysarakat dan bukan segelintir manusia egois di balik jas mentereng.
Referensi:
- http://time.com/3669230/paris-terror-attack-charlie-hebdo-lassana-bathily/
- http://www.huffingtonpost.com/2015/01/10/lassana-bathily_n_6448500.html
- http://www.theguardian.com/media/2015/jan/11/charlie-hebdo-social-media-news-readers
- http://www.theatlantic.com/international/archive/2015/01/the-life-of-kenji-goto/385059/
- http://mashable.com/2015/02/02/kenji-goto-tweet/
- http://www.huffingtonpost.com/ritusharma/power-of-social-media-dem_b_6103222.html