
(Image: postadvertising.com)
Ada sebuah jaman dimana iklan bisa menarik perhatian dengan ‘memaksa’ kita untuk melihat sebuah video atau gambar yang muncul di setiap media yang kita tonton, baca, dan dengar. Namun di era digital ini, perhatian kita semakin sulit untuk dialihkan. Iklan tidak lagi memiliki kekuatan untuk memaksa seperti dahulu kala. Kenapa?
Jika sebuah iklan muncul di kala sedang menonton sinetron, kita bisa saja mengubah channel. Jika sebuah iklan muncul saat kita sedang menonton video di YouTube kita bisa saja menekan tombol ‘skip’ (dengan kesal dan sumpah serapah).
Pada intinya, kita sudah bisa menyaring informasi yang kita inginkan. Jika sebuah iklan tidak bisa menarik perhatian kita, maka kita akan segera menghapus citra atau gambar iklan tersebut dari kepala.
Ketika iklan sudah tidak bisa menarik perhatian, bagaimana sebuah brand bisa menarik kita untuk membeli sebuah produk?
PEOPLE DON’T HAVE 30 SECONDS TO BE INTERRUPTED — BUT THEY ALWAYS HAVE 30 MINUTES TO HEAR A GREAT STORY.
Tidak percaya?
The Lego Movie adalah contoh sederhana dari pernyataan di atas. Apakah kita akan menonton iklan lego yang muncul sebelum kita menonton video di YouTube? Belum tentu. Namun jika sebuah brand merubah iklan menjadi film yang dibuat secara apik dan menarik, kita sudah pasti akan berbondong-bondong melihatnya. The Lego Movie sukses meraih angka setengah milyar dolar di box-office dunia, nominasi Oscar untuk film animasi terbaik, dan penjualan Lego yang meningkat drastis.

(Sumber: dailymotion.com)
Lego mengambil sebuah pendekatan sederhana namun sangat efektif dalam beriklan yaitu: Bercerita.
Hal yang sama juga dilakukan oleh banyak brand mainan sejak dahulu kala, lihat saja Hasbro dengan G.I Joe dan Transformers. Kesuksesan Hasbro dalam memasarkan berbagai produk mainannya terletak pada ‘cerita’ yang disampaikan oleh Hasbro. Dengan membuat sebuah cerita yang menarik tentang kepahlawanan tokoh-tokoh G.I Joe, bayangkan berapa banyak anak-anak yang merengek untuk dibelikan mainan G.I Joe.
Namun istilah storytelling tidak terbatas pada membuat sebuah film saja. Storytelling bisa disampaikan melalui sebuah konten yang menarik dan engaging. Tengok saja kesuksesan kampanye World’s Toughest Job yang dibuat oleh Cardstore.com.
Cardstore membuat sebuah video yang merekam sesi wawancara sebuah perusahaan. Sang pewancacara menyatakan bahwa pekerjaan ini sangatlah penting. Namun pekerjaan ini tidak memiliki waktu istirahat, jam kerja yang berlangsung selama 24 jam,dan tidak ada liburan. Pada akhirnya sang pewawancara menyatakan bahwa pekerjaan dilakukan oleh seorang ibu.
Saat artikel ini ditulis, video World’s Toughest Job ini sudah ditonton 21 juta kali. Di akhir video, Cardstore mengajak penonton untuk mengirimkan kartu ucapan selamat Hari Ibu dengan mengunjungi situs cardstore.com.
Cardstore tidak perlu membuat sebuah kampanye iklan yang menghabiskan dana jutaan dolar untuk dipasang di televisi atau di billboard di seluruh penjuru Amerika. Cukup dengan satu video yang menjadi viral di internet, Cardstore sukses menyentuh hati jutaan orang di seluru dunia.
Low cost, high impact. Ini adalah salah satu prinsip dari storytelling yang efektif dan sukses. Cerita yang menarik akan disebarkan secara sukarela oleh orang-orang. Hal ini juga perlu diingat ketika sebuah brand ingin menciptakan sebuah cerita. Belajar dari sebuah dongeng; cerita yang abadi akan diceritakan kembali secara berulang-ulang dan turun temurun. Maka dari itu, sebelum membuat sebuah cerita, sebuah brand harus bertanya:
“Cerita seperti apa yang akan disebarkan oleh banyak orang?”
Melalui kampanye “Share a coke”, Coca Cola sukses menyebarkan cerita tentang pelanggan setia Coca Cola. Ketika kampanye ini berjalan, botol Coca Cola secara serempak dilabeli nama-nama orang.

(Sumber:shareacoke.com.au)
Melalui kampanye Share a Coke, Coca Cola membuat setiap botol menjadi personal. Bayangkan ketika kita menemukan sebuah botol Coca Cola dengan nama kita atau orang-orang yang terdekat dengan kita, pasti kita akan tertarik untuk membeli dan bercerita tentang botol tersebut. Tidak hanya itu, melalui situs: shareacoke.com, kita bisa mencetak nama yang kita inginkan pada sebuah botol Coca Cola.
Kampanye Share a Coke mengajarkan bahwa sebuah cerita tidak melulu harus disampaikan oleh sebuah brand. Sebagai pemasar, kita juga bisa memberikan ‘obor’ bercerita pada orang-orang. Dengan kata lain, kita bisa membiarkan orang-orang untuk membuat ceritanya sendiri dengan sebuah media yang kita ciptakan.
Kita juga bisa belajar banyak mengenai storytelling dari Pixar. Siapa yang tidak mengenal Finding Nemo, Toy Story, Wall-E, atau Up? Dengan pendapatan sebesar 7 milyar dolar dan 28 piala Oscar, Pixar adalah perusahaan yang menggunakan cerita untuk menyebarkan ‘mitos’ kualitas setiap karyanya. Cerita yang diciptakan Pixar begitu berkualitas, sehingga setiap orang yang mendengar atau melihat brand Pixar pasti akan mengingat betapa hebatnya petualangan Woody, Sully, atau Wall-E. Melalui sebuah mitos kualitas yang sukses diukir oleh Pixar, setiap orang pasti yakin bahwa film yang dibuat oleh Pixar adalah film yang bagus.
Pixar mengajarkan pada kita bahwa proses storytelling harus dibuat secara kreatif dan berkualitas, sehingga cerita akan lebih mudah tersebar dan diingat oleh banyak orang. John Lasseter, Chief Creative Officer dari Pixar, selalu mengejar kualitas melalui kreativitas. Pada intinya, jika apa kita ceritakan berbeda dan lebih berkualitas dari apa yang orang lain ceritakan, orang pasti akan mendengar dengan seksama.
Bercerita di tengah keramaian digital memang sulit karena jutaan orang setiap harinya memiliki cerita yang ingin disampaikan. Jika kita bisa mengambil pelajaran dari Pixar maka: Berceritalah semenarik mungkin agar cerita kita didengar orang lain.
Pada akhirnya storytelling adalah tentang bagaimana cerita tentang brand kita disampaikan pada khalayak. Storytelling tidak terbatas pada kampanye atau iklan. Value dari produk yang kita tawarkan bisa jadi cerita unik tersendiri yang disebarkan secara sukarela oleh orang-orang.
REFERENSI:
http://www.entrepreneur.com/article/228365
http://adage.com/article/digitalnext/beginning-end-storytelling/294975/
0 Responses
Saya setuju, storytelling memang tidak terkesan memaksa seperti konsep periklanan pada umumnya. Khalayak lebih melihatnya sebagai cerita, bukan iklan produk. Thank for share
Terima kasih atas komentarnya. Storytelling memang teknik yang tricky namun krusial, dan akan terus berkembang mengikuti jaman.