
Para pemasar mengetahui bahwa dari data-data yang mereka miliki saat ini, anak-anak kian menjadi bagian demografi yang penting. Hal tersebut terjadi karena daya beli anak-anak sendiri, kemampuan mereka mempengaruhi keputusan pembelian orang dewasa (baca: orangtua), dan anak-anak ini notabenenya adalah pengonsumsi usia dewasa di masa depan. Maka dari itu, besarnya sebuah brand tentu saja memiliki andil tersendiri dari konsumen yang berasal dari golongan anak-anak.
Lewat pernyatan di atas, kita sadar bahwa anak-anak tak bisa begitu saja disodorkan oleh iklan karena bisa saja pandangannya terhadap dunia akan terganggu. Maka dari itu, kejujuran dalam melakukan strategi pemasaran terhadap segmentasi anak adalah hal yang sangat penting. Dengan adanya paparan informasi dan kemajuan teknologi yang masif, cepat atau lambat anak-anak masa kini akan mampu mendeteksi kecurangan dalam strategi pemasaran suatu merek.
Millward Brown, lembaga penelitian terkemuka dunia yang ahli dalam bidang periklanan efektif, strategi pemasaran, dan media, pada tahun 2003 mensponsori survei Brandchild yang dilakukan secara ekstensif untuk mengetahui masukan-masukan dari anak-anak mengenai merek. Ada empat hal yang ditemukan dalam survei tersebut, yaitu: 1) otentisitas, 2) points-of-differentiation, 3) ide yang segar, dan 4) pesan yang disampaikan melalui berbagai kanal berbeda.
Poin pertama, otentisitas, yakni ketika kepercayaan dari sebuah brand dipertanyakan lagi kebenarannya. Selanjutnya, points-of-differentiation menjelaskan lebih jauh tentang keunggulan yang menonjol dari setiap brand. Kemudian ada ide yang segar, di mana anak-anak akan menyukai metode pemasaran yang unik serta kreatif. Terakhir, semakin banyak iklan tersebut disampaikan dalam kanal yang berbeda, semakin lekat pula dalam benak mereka. Empat poin di atas mampu memberi respon yang kuat serta dapat disukai oleh anak-anak, apalagi ketika faktor-faktor tersebut dilengkapi dengan sesuatu yang penuh keceriaan, fantasi, dan asupan-asupan humor.
Dalam beberapa kasus, keempat hal di atas nyatanya tak diterapkan dengan seimbang karena masih ada beberapa brand yang minim menyelipkan unsur mendidiknya. Melanjutkan survei Brandchild yang tadi telah dijelaskan, nyatanya anak-anak berhak mendapatkan komunikasi pemasaran dengan standar etika tertinggi yang dapat diformulasikan oleh para pemasar.
Meski sifat serta tujuannya untuk memasarkan, namun anak-anak juga berhak menerima tayangan iklan yang sehat dan tetap berada pada batas wajar. Kejujuran dalam melakukan strategi pemasaran terhadap segmentasi anak, mesti kembali lagi menjadi hal yang penting. Pun dengan adanya paparan informasi serta kemajuan teknologi, bisa saja anak-anak saat ini mulai cerdas dalam membedakan strategi pemasaran yang baik atau tidak untuk dirinya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengiklankan kepada segmen anak-anak adalah konten yang sehat, jujur, dan edukatif. Tak perlu menawarkan sesuatu yang sifatnya menipu bahkan bodong sekalipun, karena lagi-lagi generasi masa depan kita berhak memperoleh hal yang nyata dan mendidik bagi dirinya. Siapa tahu dengan menciptakan strategi pemasaran sehat untuk anak-anak, maka kita dapat menciptakan kesempatan berharga berupa loyalitas mereka untuk mengkonsumsi brand kita secara turun-temurun hingga masa yang akan datang. Who knows!? Selamat menarik anak-anak pada brand kita!
*Diolah dari berbagai sumber